Bill Gates

Biografi Bill Gates, Pendiri Microsoft - William Henry "Bill" Gates III atau yang lebih dikenal dengan  Bill Gates lahir di Seattle, Washington, pada tanggal 28 Oktober 1955. Ia merupakan sosok seorang tokoh bisnis, investor, penulis, filantropis hebat asal Amerika Serikat. Selain itu, Ia merupakan mantan CEO yang saat ini menjabat sebagai ketua non-eksekutif di Microsoft, yang didirikannya bersama Paul Allen. Kesuksesannya mendirikan Microsoft, membuat dirinya selalu menduduki peringkat teratas di antara orang-orang terkaya yang di dunia dan yang paling hebat, Ia menempati peringkat pertama orang terkaya di dunia sejak 1995 sampai tahun 2009. Selama kariernya di Microsoft, Bill Gates pernah menjabat sebagai CEO dan kepala arsitek perangkat lunak, dan sampai sekarang Ia masih menjadi pemegang saham perorangan terbesar dengan lebih dari 8 persen saham umum perusahaan.

Biografi Lengkap Pendiri Microsoft, Bill Gates

William Henry "Bill" Gates III lahir di Seattle, Washington. Ia lahir dari pasangan William H. Gates, Sr. dan Mary Maxwell Gates. Bill Gates merupakan keturunan bangsa Inggris, Jerman, dan Skot-Irlandia. Keluarganya termasuk masyarakat menengah ke atas. Ayahnya, William H Gates merupakan  seorang pengacara ternama dan ibunya, Mary Maxwell Gates adalah seorang wanita yang menjabat sebagai anggota dewan direktur First Interstate BancSystem dan United Way. Bill Gates mempunyai seorang kakak yang bernamaKristianne dan seorang adik yang bernama Libby. Ia merupakan keturunan keempat dalam keluarganya, namun dikenal sebagai William Gates III atau "Trey" karena ayahnya menyandang akhiran "II". Pada awal kehidupannya, orang tua Bill Gates mengharapkan anaknya ini berkarir dalam bidang hukum. Namun kecintaan Gates pada dunia perangkat lunak membuatnya menentang keingan orang tuanya ini.

Pada saat Gates berusia 13 tahun, Ia bersekolah di Lakeside School, sebuah sekolah persiapan eksklusif di Seattle. Dan ketika Gates masuk di kelas delapan, Mothers Club di sekolah memanfaatkan izin dari obral barang lama Lakeside School untuk membeli sebuah terminal Teletype Model 33 ASR dan sebagian waktu komputer menggunakan komputer General Electric (GE) untuk siswa sekolah. Pada saat itu, Bill Gates sangat tertarik untuk memprogram sistem GE menggunakan BASIC, dan keluar dari kelas matematikanya untuk mengejar keinginannya. Gates mulai menulis program komputer pertamanya di mesin ini, sebuah penerapan tic-tac-toe yang memungkinkan pengguna bermain komputer melawan komputer. Gates terpesona dengan mesin ini dan cara mesin mengeksekusi kode perangkat lunak dengan sempurna.


Setelah sumbangan dari Mothers Club habis, Gates dengan beberapa siswa lainnya menghabiskan waktu dengan mengerjakan beberapa sistem, termasuk minikomputer DEC PDP. Salah satu dari yang mereka kerjakan dan mereka explorer adalah PDP-10 yang dimiliki oleh Computer Center Corporation (CCC). Selama musim panas siswa-siswa ini termasuk Gates, mereka tertangkap basah sedang mengeksploitasi bug di sistem operasi untuk memperoleh waktu komputer bebas.

Namun menjelang akhir masa larangan, keempat siswa ini dipanggil dan ditawarkan untuk menemukan bug di perangkat lunak CCC dengan imbalan waktu komputer. Bukannya memakai sistem via Teletype, Gates pergi ke kantor CCC dan mempelajari kode sumber berbagai program yang berjalan di sistem tersebut, termasuk program dalam bahasa FORTRAN, LISP, dan bahasa mesin. Perjanjian dengan CCC ini berlanjut hingga 1970, ketika perusahaan ini bangkrut. Pada tahun berikutnya, Information Sciences, Inc. mempekerjakan empat siswa Lakeside tersebut untuk menulis program pembayaran gaji dalam bahasa COBOL dan memberi mereka waktu komputer dan royalti.

Setelah pengurusnya sadar akan kemampuan pemrogramannya, Bill Gates diminta untuk menulis program komputer sekolah untuk membuat jadwal kelas siswa. Ia memodifikasi kode tersebut sehingga pada saat itu Ia ditempatkan di kelas-kelas yang didominasi perempuan. Pada saat usia Gates beranjak 17 tahun, Gates dan Allen membentuk suatu usaha bersama yang diberi nama Traf-O-Data, untuk menciptakan penghitung lalu lintas berbasis prosesor Intel 8008. Dan pada awal tahun 1973, Bill Gates bekerja sebagai pembantu kongres di Dewan Perwakilan Rakyat AS.

Bill Gates lulus dari Lakeside School pada tahun 1973. Ia memperoleh nilai hampir sempurna yaitu 1590 dari total 1600 pada ujian SAT dan ketika sudah menyelesaikan sekolah menengah atasnya, Ia melanjutkan pendidikan ke jinjang yang lebih tinggi, dan Ia memilih untuk berkuliah di Harvard College pada musim gugur 1973. Di Harvard, Gates muda bertemu dengan Steve Ballmer, yang kelak menggantikan Bill Gates sebagai CEO Microsoft.

Pada tahun berikutnya, Bill Gates merancang sebuah algoritma untuk penyortiran panekuk sebagai solusi atas satu dari serangkaian masalah yang belum bisa diselesaikan dosennya sendiri, dosen kombinatorika yang bernama Harry Lewis adalah salah seorang profesornya dibidang ini. Solusi dari Gates untuk masalah dosennya inilah membuat Gates memegang rekor sebagai versi tercepat selama 30 tahun lamanya.


Ketika menjadi mahasiswa, Bill Gates tidak punya rencana belajar tetap di Harvard dan ia lebih suka menghabiskan banyak waktunya dengan menggunakan komputer sekolah. Pada saat itu Gates masih sering berkomunikasi dengan Paul Allen, dan ia bergabung dengannya di Honeywell pada musim panas 1974. Pada tahun berikutnya, MITS Altair 8800 berbasis CPU Intel 8080 diluncurkan, dan Bill Gates beserta Allen melihat peluncurannya sebagai peluang untuk mendirikan perusahaan perangkat lunak komputer sendiri. Gates membicarakan peluang ini kepada orang tuanya dan orang tuanya sangat mendukungnya keputusannya ini setelah mereka melihat antusiasme Bill Gates untuk mendirikan perusahaan perangkat lunak yang bernama Microsoft.


Setelah membaca Popular Electronics edisi Januari 1975 yang mendemonstrasikan Altair 8800, Bill Gates menghubungi Micro Instrumentation and Telemetry Systems (MITS), pencipta dari mikrokomputer baru tersebut, Gates ingin memberitahu mereka bahwa Ia bersama timnya sedang mengerjakan penerjemah BASIC untuk digunakan sebagai platformnya. Jika kita lihat kenyataannya, Bill Gates dan Allen tidak memiliki komputer Altair dan belum menulis sedikitpun kode-kode BASIC ini, tujuan mereka hanya ingin membuat MITS tertarik dengan apa yang mereka ingin tawarkan. Melihat konsep Gates bagus, akhirnya Presiden MITS Ed Roberts setuju untuk menemui mereka untuk melihat demo program yang ditawarkan oleh Gates dan rekan-rekan. Dalam waktu singkat, mereka berhasil mengembangkan emulator Altair yang beroperasi di sebuah minikomputer, dan kemudian penerjemah BASIC. Demonstrasi yang diadakan di kantor MITS di Albuquerque tersebut berhasil membuat Presiden MITS Ed Robert berkesan dan mereka mendapatkan proyek untuk mendistribusikan penerjemah ini dengan nama Altair BASIC. Pada saat itu, Paul Allen diberi kesempatan untuk bekerja di MITS, dan Bill Gates memilih absen studi dari Harvard untuk bekerja bersama Allen di MITS di Albuquerque pada November 1975. Sejak saat itu, mereka menamai kerjasama mereka ini dengan nama "Micro-Soft" dan mendirikan kantor pertamanya di Albuquerque. Tahun pertama sejak Micro-Soft didirikan, tanda penghubung pada namanya dihilangkan, dan tepat pada 26 November 1976, nama dagang/brandnya menjadi "Microsoft" dan didaftarkan di Kementerian Luar Negeri New Mexico. Sejak Microsoft berdiri, Bill Gates tidak pernah lagi kembali kuliah ke Harvard untuk menyelesaikan studinya, dia lebih memilih untuk membesarkan perusahaannya bersama Allen.

BASIC Microsoft dikenal oleh para penggemar komputer diseluruh dunia, namun Bill Gates kemudian menemukan bahwa salinan pra-pasarnya telah bocor ke pasaran dan terus dicopy dan didistribusikan dengan jumlah yang banyak. Melihat hal itu,  pada bulan Februari 1976, Bill Gates menulis Open Letter to Hobbyists di surat berita MITS yang menyatakan bahwa MITS tidak boleh lagi terus memproduksi, mendistribusikan, dan mempertahankan perangkat lunak yang berkualitas tinggi tanpa ada bayaran. Surat ini disambut dingin oleh banyak penggemar komputer diseluruh dunia, namun Gates mempertahankan keyakinannya tersebut dengan berkeyakinan bahwa para pengembang perangkat lunak harus mampu meminta bayaran dari perengkat lunak tersebut. Akhirnya microsoft melepaskan diri dari MITS pada tahun 1976, dan perusahaan ini terus mengembangkan perangkat lunak bahasa pemrograman untuk berbagai sistem. Perusahaan ini pindah dari Albuquerque ke kantor barunya di Bellevue, Washington pada 1 Januari 1979.

Pada tahun-tahun awal Microsoft berdiri, hampir semua karyawan punya tanggung jawab besar atas bisnis perusahaan ini. Bill Gates mengawasi rincian bisnis dan juga turut menulis kode. Pada lima tahun pertama, Gates secara pribadi meninjau setiap baris kode yang dikirimkan perusahaan, dan sering menulis ulang beberapa bagian kode agar terlihat pas.

Pada tahun 1980, IBM menawarkan Microsoft untuk menulis penerjemah BASIC untuk komputer pribadi mereka selanjutnya, IBM PC. Ketika perwakilan IBM menyebutkan bahwa mereka butuh sebuah sistem operasi, Bill Gates memberi rujukan kepada Digital Reserach (DRI), pembuat sistem operasi CP/M yang banyak digunakan pada masa itu. Diskusi IBM dengan Digital Research ternyata tidak membuahkan hasil, dan tidak bisa terjadi deal mengenai persetujuan lisensi. Perwakilan IBM Jack Sams menyebutkan kesulitan izin lisensi pada pertemuan selanjutnya dengan Gates dan memintanya untuk mencari sebuah sistem operasi yang layak. Beberapa minggu kemudian Gates berencana menggunakan 86-DOS (QDOS), sebuah sistem operasi mirip CP/M yang dibuatkan perangkat lunaknya oleh Tim Paterson dari Seattle Computer Products (SCP) sama seperti PC. Microsoft membuat persetujuan dengan SCP untuk menjadi agen lisensi eksekutif, dan kemudian pemilik mutlak 86-DOS. Setelah mengadaptasi sistem operasi untuk PC, Microsoft mengirimkannya ke IBM dalam bentuk PC-DOS dengan imbalan bayaran $50.000. Bill Gates tidak menawarkan pemindahan hak cipta sistem operasi ini, karena ia yakin produsen perangkat lunak lain akan meniru sistem IBM. Mereka benar, dan penjualan MS-DOS menjadikan Microsoft pemain utama dalam industri komputer.

Pada saat itu Bill Gates mengawasi restrukturisasi perusahaan Microsoft pada 25 Juni 1981 yang menggabungkan kembali perusahaan di negara bagian Microsoft dan menjadikan Gates sebagai Presiden dan Ketua Dewan Microsoft.

Microsoft meluncurkan versi ritel pertama Microsoft Windows pada 20 November 1985, dan pada bulan Agustus, perusahaan ini mencapai persetujuan dengan IBM untuk mengembangkan sistem operasi terpisah bernama OS/2. Meski kedua perusahaan ini berhasil mengembangkan versi pertama dari sistem ini, perbedaan kreativitas merusak kerjasama ini. Dan Bill Gates mengeluarkan memo internal pada 16 Mei 1991 yang mengumumkan bahwa kerjasama OS/2 berakhir dan Microsoft mengalihkan operasinya ke pengembangan kernel Windows NT.

Sejak saat itu, Microsoft banyak meluncurkan produk-produk seperti Windows 98, Windows 2000, Windows XP, Windows 7, Windows 8, dan banyak lainnya. Berkat kepiawaian Gates berbisnis dan memimpin Microsoft, menjadikan Ia sampai saat ini masih menjadi 3 besar orang terkaya di dunia.
Biografi Bill Gates - Pendiri Microsoft
Minggu, 31 Maret 2013
Posted by Kerlip

Ir Soekarno

    Ir. Soekarno adalah sosok orang terpenting dalam sepanjang catatan sejarah memerdekaan bangsa indonesia dari penjajahan Belanda. Beliau adalah proklamator kemerdekaan indonesia bersama Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Ir. Soekarno juga merupakan Presiden Pertama Republik Indonesia yang menjabat pada periode 1945-1966. Beliau dilahirkan di Surabaya pada tanggal 6 Juni 1910 dan pada usianya yang ke 69, sosok penggali pancasila ini meninggal dunia di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta pada tanggal 21 Juni 1970. Semasa hidupnya, Presiden Soekarno banyak mendapatkan penghargaan, antara lain penghargaan dari 26 Universita (luar negeri dan dalam negeri) dan meskipun beliau sudah meninggal dunia, Presiden Ir. Soekarno, juga tetap mendapat penghargaan sebagai bintang kelas satu oleh Presiden Afrika Selatan, Thabo Mbeki.
Dibawah ini merupakan sejarah kehidupan Presiden Soekarno Lengkap dari masa kecil dan masa remaja, kiprah politik Presiden Soekarno hingga wafatnya Ir, Soekarno dan lain-lain

Selamat Membaca....

BIOGRAFI IR. SOEKARNO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERTAMA
1. Nama Kecil Soekarno
1. NAMA KECIL IR. SOEKARNO
Ketika dilahirkan, Soekarno diberikan nama Kusno Sosrodihardjo oleh orangtuanya.Namun karena ia sering sakit maka ketika berumur lima tahun namanya diubah menjadi Soekarno oleh ayahnya. Nama tersebut diambil dari seorang panglima perang dalam kisah Bharata Yudha yaitu Karna. Nama “Karna” menjadi “Karno” karena dalam bahasa Jawa huruf “a” berubah menjadi “o” sedangkan awalan “su” memiliki arti “baik”.
Di kemudian hari ketika menjadi Presiden R.I., ejaan nama Soekarno diganti olehnya sendiri menjadi Sukarno karena menurutnya nama tersebut menggunakan ejaan penjajah (Belanda). Ia tetap menggunakan nama Soekarno dalam tanda tangannya karena tanda tangan tersebut adalah tanda tangan yang tercantum dalam Teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang tidak boleh diubah. Sebutan akrab untuk Soekarno adalah Bung Karno.
Asal Usul Nama Achmed Soekarno
Di beberapa negara Barat, nama Soekarno kadang-kadang ditulis Achmed Soekarno. Hal ini terjadi karena ketika Soekarno pertama kali berkunjung ke Amerika Serikat, sejumlah wartawan bertanya-tanya, “Siapa nama kecil Soekarno?” karena mereka tidak mengerti kebiasaan sebagian masyarakat di Indonesia yang hanya menggunakan satu nama saja atau tidak memiliki nama keluarga. Entah bagaimana, seseorang lalu menambahkan nama Achmed di depan nama Soekarno. Hal ini pun terjadi di beberapa Wikipedia, seperti wikipedia bahasa Ceko, bahasa Wales, bahasa Denmark, bahasa Jerman, dan bahasa Spanyol.
Sukarno menyebutkan bahwa nama Achmed di dapatnya ketika menunaikan ibadah haji. Dalam beberapa versi lain, disebutkan pemberian nama Achmed di depan nama Sukarno, dilakukan oleh para diplomat muslim asal Indonesia yang sedang melakukan misi luar negeri dalam upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan negara Indonesia oleh negara-negara Arab.
2. KEHIDUPAN IR. SOEKARNO
Masa Kecil dan Remaja Soekarno
Soekarno dilahirkan dengan seorang ayah yang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya yaitu Ida Ayu Nyoman Rai. Keduanya bertemu ketika Raden Soekemi yang merupakan seorang guru ditempatkan di Sekolah Dasar Pribumi di Singaraja, Bali. Nyoman Rai merupakan keturunan bangsawan dari Bali dan beragama Hindu sedangkan Raden Soekemi sendiri beragama Islam. Mereka telah memiliki seorang putri yang bernama Sukarmini sebelum Soekarno lahir. Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur.
Ia bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga akhirnya ia pindah ke Mojokerto, mengikuti orangtuanya yang ditugaskan di kota tersebut. Di Mojokerto, ayahnya memasukan Soekarno ke Eerste Inlandse School, sekolah tempat ia bekerja.Kemudian pada Juni 1911 Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima di Hoogere Burger School (HBS). Pada tahun 1915, Soekarno telah menyelesaikan pendidikannya di ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS. di Surabaya, Jawa Timur. Ia dapat diterima di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya yang bernama H.O.S. Tjokroaminoto. Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal bagi Soekarno di pondokan kediamannya. Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu, seperti Alimin, Musso, Dharsono, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis. Soekarno kemudian aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Darmo yang dibentuk sebagai organisasi dari Budi Utomo. Nama organisasi tersebut kemudian ia ganti menjadi Jong Java (Pemuda Jawa) pada 1918. Selain itu, Soekarno juga aktif menulis di harian “Oetoesan Hindia” yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.
Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto. Di sana ia berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.
Keluarga Soekarno
3. KIPRAH POLITIK SOEKARNO
Masa Pergerakan Nasional
Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung yang merupakan hasil inspirasi dari Indonesische Studie Club oleh Dr. Soetomo. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI menyebabkannya ditangkap Belanda pada bulan Desember 1929, dan memunculkan pledoinya yang fenomenal: Indonesia Menggugat, hingga dibebaskan kembali pada tanggal 31 Desember 1931.
Pada bulan Juli 1932, Soekarno bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo), yang merupakan pecahan dari PNI. Soekarno kembali ditangkap pada bulan Agustus 1933, dan diasingkan ke Flores. Di sini, Soekarno hampir dilupakan oleh tokoh-tokoh nasional. Namun semangatnya tetap membara seperti tersirat dalam setiap suratnya kepada seorang Guru Persatuan Islam bernama Ahmad Hasan.
Pada tahun 1938 hingga tahun 1942 Soekarno diasingkan ke Provinsi Bengkulu.
Soekarno baru kembali bebas pada masa penjajahan Jepang pada tahun 1942.
Masa Penjajahan Jepang
Pada awal masa penjajahan Jepang (1942-1945), pemerintah Jepang sempat tidak memperhatikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia terutama untuk “mengamankan” keberadaannya di Indonesia. Ini terlihat pada Gerakan 3A dengan tokohnya Shimizu dan Mr. Syamsuddin yang kurang begitu populer.
Namun akhirnya, pemerintahan pendudukan Jepang memperhatikan dan sekaligus memanfaatkan tokoh tokoh Indonesia seperti Soekarno, Mohammad Hatta dan lain-lain dalam setiap organisasi-organisasi dan lembaga lembaga untuk menarik hati penduduk Indonesia. Disebutkan dalam berbagai organisasi seperti Jawa Hokokai, Pusat Tenaga Rakyat (Putera), BPUPKI dan PPKI, tokoh tokoh seperti Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantara, K.H Mas Mansyur dan lain lainnya disebut-sebut dan terlihat begitu aktif. Dan akhirnya tokoh-tokoh nasional bekerjasama dengan pemerintah pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, meski ada pula yang melakukan gerakan bawah tanah seperti Sutan Syahrir dan Amir Sjarifuddin karena menganggap Jepang adalah fasis yang berbahaya.
Presiden Soekarno sendiri, saat pidato pembukaan menjelang pembacaan teks proklamasi kemerdekaan, mengatakan bahwa meski sebenarnya kita bekerjasama dengan Jepang sebenarnya kita percaya dan yakin serta mengandalkan kekuatan sendiri.
Ia aktif dalam usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, di antaranya adalah merumuskan Pancasila, UUD 1945 dan dasar dasar pemerintahan Indonesia termasuk merumuskan naskah proklamasi Kemerdekaan. Ia sempat dibujuk untuk menyingkir ke Rengasdengklok Peristiwa Rengasdengklok.
Pada tahun 1943, Perdana Menteri Jepang Hideki Tojo mengundang tokoh Indonesia yakni Soekarno, Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo ke Jepang dan diterima langsung oleh Kaisar Hirohito. Bahkan kaisar memberikan Bintang kekaisaran (Ratna Suci) kepada tiga tokoh Indonesia tersebut. Penganugerahan Bintang itu membuat pemerintahan pendudukan Jepang terkejut, karena hal itu berarti bahwa ketiga tokoh Indonesia itu dianggap keluarga Kaisar Jepang sendiri. Pada bulan Agustus 1945, ia diundang oleh Marsekal Terauchi, pimpinan Angkatan Darat wilayah Asia Tenggara di Dalat Vietnam yang kemudian menyatakan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah urusan rakyat Indonesia sendiri.
Namun keterlibatannya dalam badan-badan organisasi bentukan Jepang membuat Soekarno dituduh oleh Belanda bekerja sama dengan Jepang,antara lain dalam kasus romusha.
Masa Perang Revolusi - [ Kembali ke daftar isi ]
Soekarno bersama tokoh-tokoh nasional mulai mempersiapkan diri menjelang Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI,Panitia Kecil yang terdiri dari delapan orang (resmi), Panitia Kecil yang terdiri dari sembilan orang/Panitia Sembilan (yang menghasilkan Piagam Jakarta) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI, Soekarno-Hatta mendirikan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Setelah menemui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945; Soekarno dan Mohammad Hatta dibujuk oleh para pemuda untuk menyingkir ke asrama pasukan Pembela Tanah Air Peta Rengasdengklok. Tokoh pemuda yang membujuk antara lain Soekarni, Wikana, Singgih serta Chairul Saleh. Para pemuda menuntut agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, karena di Indonesia terjadi kevakuman kekuasaan. Ini disebabkan karena Jepang sudah menyerah dan pasukan Sekutu belum tiba. Namun Soekarno, Hatta dan para tokoh menolak dengan alasan menunggu kejelasan mengenai penyerahan Jepang. Alasan lain yang berkembang adalah Soekarno menetapkan moment tepat untuk kemerdekaan Republik Indonesia yakni dipilihnya tanggal 17 Agustus 1945 saat itu bertepatan dengan bulan Ramadhan, bulan suci kaum muslim yang diyakini merupakan bulan turunnya wahyu pertama kaum muslimin kepada Nabi Muhammad SAW yakni Al Qur-an. Pada tanggal 18 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diangkat oleh PPKI menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada tanggal 29 Agustus 1945 pengangkatan menjadi presiden dan wakil presiden dikukuhkan oleh KNIP.Pada tanggal 19 September 1945 kewibawaan Soekarno dapat menyelesaikan tanpa pertumpahan darah peristiwa Lapangan Ikada dimana 200.000 rakyat Jakarta akan bentrok dengan pasukan Jepang yang masih bersenjata lengkap.
Pada saat kedatangan Sekutu (AFNEI) yang dipimpin oleh Letjen. Sir Phillip Christison, Christison akhirnya mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto setelah mengadakan pertemuan dengan Presiden Soekarno. Presiden Soekarno juga berusaha menyelesaikan krisis di Surabaya. Namun akibat provokasi yang dilancarkan pasukan NICA (Belanda) yang membonceng Sekutu. (dibawah Inggris) meledaklah Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dan gugurnya Brigadir Jendral A.W.S Mallaby.
Karena banyak provokasi di Jakarta pada waktu itu, Presiden Soekarno akhirnya memindahkan Ibukota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Diikuti wakil presiden dan pejabat tinggi negara lainnya.
Kedudukan Presiden Soekarno menurut UUD 1945 adalah kedudukan Presiden selaku kepala pemerintahan dan kepala negara (presidensiil/single executive). Selama revolusi kemerdekaan,sistem pemerintahan berubah menjadi semi-presidensiil/double executive. Presiden Soekarno sebagai Kepala Negara dan Sutan Syahrir sebagai Perdana Menteri/Kepala Pemerintahan. Hal itu terjadi karena adanya maklumat wakil presiden No X, dan maklumat pemerintah bulan November 1945 tentang partai politik. Hal ini ditempuh agar Republik Indonesia dianggap negara yang lebih demokratis.
Meski sistem pemerintahan berubah, pada saat revolusi kemerdekaan, kedudukan Presiden Soekarno tetap paling penting, terutama dalam menghadapi Peristiwa Madiun 1948 serta saat Agresi Militer Belanda II yang menyebabkan Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan sejumlah pejabat tinggi negara ditahan Belanda. Meskipun sudah ada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dengan ketua Sjafruddin Prawiranegara, tetapi pada kenyataannya dunia internasional dan situasi dalam negeri tetap mengakui bahwa Soekarno-Hatta adalah pemimpin Indonesia yang sesungguhnya, hanya kebijakannya yang dapat menyelesaikan sengketa Indonesia-Belanda.
Masa Kemerdekaan
Setelah Pengakuan Kedaulatan (Pemerintah Belanda menyebutkan sebagai Penyerahan Kedaulatan), Presiden Soekarno diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Mohammad Hatta diangkat sebagai perdana menteri RIS. Jabatan Presiden Republik Indonesia diserahkan kepada Mr Assaat, yang kemudian dikenal sebagai RI Jawa-Yogya. Namun karena tuntutan dari seluruh rakyat Indonesia yang ingin kembali ke negara kesatuan, maka pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS kembali berubah menjadi Republik Indonesia dan Presiden Soekarno menjadi Presiden RI. Mandat Mr Assaat sebagai pemangku jabatan Presiden RI diserahkan kembali kepada Ir. Soekarno. Resminya kedudukan Presiden Soekarno adalah presiden konstitusional, tetapi pada kenyataannya kebijakan pemerintah dilakukan setelah berkonsultasi dengannya.
Mitos Dwitunggal Soekarno-Hatta cukup populer dan lebih kuat dikalangan rakyat dibandingkan terhadap kepala pemerintahan yakni perdana menteri. Jatuh bangunnya kabinet yang terkenal sebagai “kabinet seumur jagung” membuat Presiden Soekarno kurang mempercayai sistem multipartai, bahkan menyebutnya sebagai “penyakit kepartaian”. Tak jarang, ia juga ikut turun tangan menengahi konflik-konflik di tubuh militer yang juga berimbas pada jatuh bangunnya kabinet. Seperti peristiwa 17 Oktober 1952 dan Peristiwa di kalangan Angkatan Udara.
Presiden Soekarno juga banyak memberikan gagasan-gagasan di dunia Internasional. Keprihatinannya terhadap nasib bangsa Asia-Afrika, masih belum merdeka, belum mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri, menyebabkan presiden Soekarno, pada tahun 1955, mengambil inisiatif untuk mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung yang menghasilkan Dasa Sila. Bandung dikenal sebagai Ibu Kota Asia-Afrika. Ketimpangan dan konflik akibat “bom waktu” yang ditinggalkan negara-negara barat yang dicap masih mementingkan imperialisme dan kolonialisme, ketimpangan dan kekhawatiran akan munculnya perang nuklir yang mengubah peradaban, ketidakadilan badan-badan dunia internasional dalam pemecahan konflik juga menjadi perhatiannya. Bersama Presiden Josip Broz Tito (Yugoslavia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Mohammad Ali Jinnah (Pakistan), U Nu, (Birma) dan Jawaharlal Nehru (India) ia mengadakan Konferensi Asia Afrika yang membuahkan Gerakan Non Blok. Berkat jasanya itu, banyak negara-negara Asia Afrika yang memperoleh kemerdekaannya. Namun sayangnya, masih banyak pula yang mengalami konflik berkepanjangan sampai saat ini karena ketidakadilan dalam pemecahan masalah, yang masih dikuasai negara-negara kuat atau adikuasa. Berkat jasa ini pula, banyak penduduk dari kawasan Asia Afrika yang tidak lupa akan Soekarno bila ingat atau mengenal akan Indonesia.
Guna menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif dalam dunia internasional, Presiden Soekarno mengunjungi berbagai negara dan bertemu dengan pemimpin-pemimpin negara. Di antaranya adalah Nikita Khruschev (Uni Soviet), John Fitzgerald Kennedy (Amerika Serikat), Fidel Castro (Kuba), Mao Tse Tung (RRC).
Kejatuhan
Situasi politik Indonesia menjadi tidak menentu setelah enam jenderal dibunuh dalam peristiwa yang dikenal dengan sebutan Gerakan 30 September atau G30S pada 1965. Pelaku sesungguhnya dari peristiwa tersebut masih merupakan kontroversi walaupun PKI dituduh terlibat di dalamnya. Kemudian massa dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia) melakukan aksi demonstrasi dan menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) yang salah satu isinya meminta agar PKI dibubarkan.[10] Namun, Soekarno menolak untuk membubarkan PKI karena bertentangan dengan pandangan Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme). Sikap Soekarno yang menolak membuabarkan PKI kemudian melemahkan posisinya dalam politik.
Lima bulan kemudian, dikeluarkanlah Surat Perintah Sebelas Maret yang ditandatangani oleh Soekarno. Isi dari surat tersebut merupakan perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan yang perlu guna menjaga keamanan pemerintahan dan keselamatan pribadi presiden. Surat tersebut lalu digunakan oleh Soeharto yang telah diangkat menjadi Panglima Angkatan Darat untuk membubarkan PKI dan menyatakannya sebagai organisasi terlarang. Kemudian MPRS pun mengeluarkan dua Ketetapannya, yaitu TAP No. IX/1966 tentang pengukuhan Supersemar menjadi TAP MPRS dan TAP No. XV/1966 yang memberikan jaminan kepada Soeharto sebagai pemegang Supersemar untuk setiap saat menjadi presiden apabila presiden berhalangan.
Soekarno kemudian membawakan pidato pertanggungjawaban mengenai sikapnya terhadap peristiwa G30S pada Sidang Umum ke-IV MPRS. Pidato tersebut berjudul “Nawaksara” dan dibacakan pada 22 Juni 1966. MPRS kemudian meminta Soekarno untuk melengkapi pidato tersebut. Pidato “Pelengkap Nawaskara” pun disampaikan oleh Soekarno pada 10 Januari 1967 namun kemudian ditolak oleh MPRS pada 16 Februari tahun yang sama.
Hingga akhirnya pada 20 Februari 1967 Soekarno menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan di Istana Merdeka. Dengan ditandatanganinya surat tersebut maka Soeharto de facto menjadi kepala pemerintahan Indonesia. Setelah melakukan Sidang Istimewa maka MPRS pun mencabut kekuasaan Presiden Soekarno, mencabut gelar Pemimpin Besar Revolusi dan mengangkat Soeharto sebagai Presiden RI hingga diselenggarakan pemilihan umum berikutnya.
4. SOEKARNO SAKIT HINGGA MENINGGAL
Kesehatan Soekarno sudah mulai menurun sejak bulan Agustus 1965. Sebelumnya, ia telah dinyatakan mengidap gangguan ginjal dan pernah menjalani perawatan di Wina, Austria tahun 1961 dan 1964. Prof. Dr. K. Fellinger dari Fakultas Kedokteran Universitas Wina menyarankan agar ginjal kiri Soekarno diangkat tetapi ia menolaknya dan lebih memilih pengobatan tradisional. Ia masih bertahan selama 5 tahun sebelum akhirnya meninggal pada hari Minggu, 21 Juni 1970 di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat) Gatot Subroto, Jakarta dengan status sebagai tahanan politik. Jenazah Soekarno pun dipindahkan dari RSPAD ke Wisma Yasso yang dimiliki oleh Ratna Sari Dewi. Sebelum dinyatakan wafat, pemeriksaan rutin terhadap Soekarno sempat dilakukan oleh Dokter Mahar Mardjono yang merupakan anggota tim dokter kepresidenan. Tidak lama kemudian dikeluarkanlah komunike medis yang ditandatangani oleh Ketua Prof. Dr. Mahar Mardjono beserta Wakil Ketua Mayor Jenderal Dr. (TNI AD) Rubiono Kertopati.
Komunike medis tersebut menyatakan hal sebagai berikut:
1. Pada hari Sabtu tanggal 20 Juni 1970 jam 20.30 keadaan kesehatan Ir. Soekarno semakin memburuk dan kesadaran berangsur-angsur menurun.
2. Tanggal 21 Juni 1970 jam 03.50 pagi, Ir. Soekarno dalam keadaan tidak sadar dan kemudian pada jam 07.00 Ir. Soekarno meninggal dunia.
3. Tim dokter secara terus-menerus berusaha mengatasi keadaan kritis Ir. Soekarno hingga saat meninggalnya.
Walaupun Soekarno pernah meminta agar dirinya dimakamkan di Istana Batu Tulis, Bogor, namun pemerintah memilih Kota Blitar, Jawa Timur, sebagai tempat pemakaman Soekarno. Hal tersebut ditetapkan lewat Keppres RI No. 44 tahun 1970. Jenazah Soekarno dibawa ke Blitar sehari setelah kematiannya dan dimakamkan keesokan harinya bersebelahan dengan makam ibunya. Upacara pemakaman Soekarno dipimpin oleh Panglima ABRI Jenderal M. Panggabean sebagai inspektur upacara. Pemerintah kemudian menetapkan masa berkabung selama tujuh hari.
5. PENINGGALAN PRESIDEN SOEKARNO
Dalam rangka memperingati 100 tahun kelahiran Soekarno pada 6 Juni 2001, maka Kantor Filateli Jakarta menerbitkan perangko “100 Tahun Bung Karno”.[8] Perangko yang diterbitkan merupakan empat buah perangko berlatarbelakang bendera Merah Putih serta menampilkan gambar diri Soekarno dari muda hingga ketika menjadi Presiden Republik Indonesia. Perangko pertama memiliki nilai nominal Rp500 dan menampilkan potret Soekarno pada saat sekolah menengah. Yang kedua bernilai Rp800 dan gambar Soekarno ketika masih di perguruan tinggi tahun 1920an terpampang di atasnya. Sementara itu, perangko yang ketiga memiliki nominal Rp. 900 serta menunjukkan foto Soekarno saat proklamasi kemerdekaan RI. Perangko yang terakhir memiliki gambar Soekarno ketika menjadi Presiden dan bernominal Rp. 1000. Keempat perangko tersebut dirancang oleh Heri Purnomo dan dicetak sebanyak 2,5 juta set oleh Perum Peruri. Selain perangko, Divisi Filateli PT Pos Indonesia menerbitkan juga lima macam kemasan perangko, album koleksi perangko, empat jenis kartu pos, dua macam poster Bung Karno serta tiga desain kaus Bung Karno.
Perangko yang menampilkan Soekarno juga diterbitkan oleh Pemerintah Kuba pada tanggal 19 Juni 2008. Perangko tersebut menampilkan gambar Soekarno dan presiden Kuba Fidel Castro. Penerbitan itu bersamaan dengan ulang tahun ke-80 Fidel Castro dan peringatan kunjungan Presiden Indonesia, Soekarno, ke Kuba.
Nama Soekarno pernah diabadikan sebagai nama sebuah gelanggang olahraga pada tahun 1958. Bangunan tersebut, yaitu Gelanggang Olahraga Bung Karno, didirikan sebagai sarana keperluan penyelenggaraan Asian Games IV tahun 1962 di Jakarta. Pada masa Orde Baru, komplek olahraga ini diubah namanya menjadi Gelora Senayan. Tapi sesuai keputusan Presiden Abdurrahman Wahid, Gelora Senayan kembali pada nama awalnya yaitu Gelanggang Olahraga Bung Karno. Hal ini dilakukan dalam rangka mengenang jasa Bung Karno.
Setelah kematiannya, beberapa yayasan dibuat atas nama Soekarno. Dua di antaranya adalah Yayasan Pendidikan Soekarno dan Yayasan Bung Karno. Yayasan Pendidikan Soekarno adalah organisasi yang mencetuskan ide untuk membangun universitas dengan pemahaman yang diajarkan Bung Karno. Yayasan ini dipimpin oleh Rachmawati Soekarnoputri, anak ketiga Soekarno dan Fatmawati. Pada tahun 25 Juni 1999 Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie meresmikan Universitas Bung Karno yang secara resmi meneruskan pemikiran Bung Karno, Nation and Character Building kepada mahasiswa-mahasiswanya.
Sementara itu, Yayasan Bung Karno memiliki tujuan untuk mengumpulkan dan melestarikan benda-benda seni maupun non-seni kepunyaan Soekarno yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Yayasan tersebut didirikan pada tanggal 1 Juni 1978 oleh delapan putra-putri Soekarno yaitu Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra, Taufan Soekarnoputra, Bayu Soekarnoputra dan Kartika Sari Dewi Soekarno. Di tahun 2003, Yayasan Bung Karno membuka stan di Arena Pekan Raya Jakarta.[8] Di stan tersebut ditampilkan video pidato Soekarno berjudul “Indonesia Menggugat” yang disampaikan di Gedung Landraad tahun 1930 serta foto-foto semasa Soekarno menjadi presiden.[8] Selain memperlihatkan video dan foto, berbagai cinderamata Soekarno dijual di stan tersebut. Diantaranya adalah kaus, jam emas, koin emas, CD berisi pidato Soekarno serta kartu pos Soekarno.
Seseorang yang bernama Soenuso Goroyo Sukarno mengaku memiliki harta benda warisan Soekarno. Soenuso mengaku merupakan mantan sersan dari Batalyon Artileri Pertahanan Udara Sedang.[8] Ia pernah menunjukkan benda-benda yang dianggapnya sebagai warisan Soekarno itu kepada sejumlah wartawan di rumahnya di Cileungsi, Bogor. Benda-benda tersebut antara lain adalah sebuah lempengan emas kuning murni 24 karat yang terdaftar dalam register emas JM London, emas putih dengan cap tapal kuda JM Mathey London serta plakat logam berwarna kuning dengan tulisan ejaan lama berupa deposito hibah. Selain itu terdapat pula uang UBCN (Brasil) dan Yugoslavia serta sertifikat deposito obligasi garansi di Bank Swiss dan Bank Netherland.[8] Meskipun emas yang ditunjukkan oleh Soenuso bersertifikat namun belum ada pakar yang memastikan keaslian dari emas tersebut.
6. PENGHARGAAN PRESIDEN IR. SOEKARNO – [ Kembali ke daftar isi ]
Semasa hidupnya, Soekarno mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari 26 universitas di dalam dan luar negeri. Perguruan tinggi dalam negeri yang memberikan gelar kehormatan kepada Soekarno antara lain adalah Universitas Gajah Mada, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Padjadjaran, Universitas Hasanuddin dan Institut Agama Islam Negeri Jakarta. Sementara itu, Columbia University (Amerika Serikat), Berlin University (Jerman), Lomonosov University (Rusia) dan Al-Azhar University (Mesir) merupakan beberapa universitas luar negeri yang menganugerahi Soekarno dengan gelar Doktor Honoris Causa.
Pada bulan April 2005, Soekarno yang sudah meninggal selama 104 tahun mendapatkan penghargaan dari Presiden Afrika Selatan Thabo Mbeki. Penghargaan tersebut adalah penghargaan bintang kelas satu The Order of the Supreme Companions of OR Tambo yang diberikan dalam bentuk medali, pin, tongkat, dan lencana yang semuanya dilapisi emas. Soekarno mendapatkan penghargaan tersebut karena dinilai telah mengembangkan solidaritas internasional demi melawan penindasan oleh negara maju serta telah menjadi inspirasi bagi rakyat Afrika Selatan dalam melawan penjajahan dan membebaskan diri dari apartheid. Acara penyerahan penghargaan tersebut dilaksanakan di Kantor Kepresidenan Union Buildings di Pretoria dan dihadiri oleh Megawati Soekarnoputri yang mewakili ayahnya dalam menerima penghargaan.
Kamis, 21 Maret 2013
Posted by Kerlip

Jenderal Soedirman

Ia mungkin telah jadi ikon: sepotong jalan utama dan sebuah universitas negeri telah menggunakan namanya. Raut lelaki tirus itu pernah tertera pada sehelai uang kertas.
Di Jakarta, tubuhnya yang ringkih diabadikan dalam bentuk patung setinggi 6,5 meter di atas penyangga 5,5 meter. Menghadap utara, dibalut jas yang kedodoran, ia memberi hormat–entah kepada siapa.
Barangkali, hanya sedikit cerita yang kita ingat dari Soedirman–sejumput kenangan dari buku sejarah sekolah menengah. Ia panglima tentara yang pertama, orang yang keras hati. Ia pernah bergerilya dalam gering yang akut–tuberkulosis menggerogoti paru-parunya.
Sejak ia remaja, orang segan kepadanya: karena alim, dia dijuluki kaji. Ia aktif dalam gerakan Hizbul Wathan–kepanduan di bawah payung Muhammadiyah.
Dipilih melalui pemungutan suara sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat/Angkatan Perang Republik Indonesia pada 12 November 1945, Soedirman figur yang sulit dilewatkan begitu saja. Ia mungkin sudah ditakdirkan memimpin tentara.
Dengan banyak pengalaman, tak sulit baginya terpilih sebagai panglima dalam tiga tahap pengumpulan suara. Dia menyisihkan calon-calon lain, termasuk Oerip Soemohardjo–kandidat lain yang mengenyam pendidikan militer Belanda.
Kisah Seorang Perokok Berat 
Soedirman adalah seorang perokok kelas berat. Ia merokok sejak remaja. Rokok kreteknya tak bermerek, tingwe alias nglinthing deweartinya meramu sendiri. Sepulang bergerilya, kondisi kesehatan Soedirman memburuk. Ia masuk Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.Mohamad Teguh Bambang Tjahjadi, 63 tahun, putra bungsu Soedirman, ingat cerita ibunya, Siti Alfiah, bagaimana saat sakit bapaknya tetap ingin merokok.”Bapak dipaksa berhenti merokok oleh dokter. Karena perokok berat, Bapak tak bisa benar-benar meninggalkan rokok. Bapak meminta Ibu merokok dan meniupkan asap ke mukanya.”
Menurut Teguh, belakangan ibunya menjadi perokok. “Barangkali terdengar konyol, tapi Ibu berprinsip menaati perintah Bapak,” katanya.
Pada Ahad pagi, 29 Januari 1950, setelah lama terkulai lemas sejak Oktober di rumah peristirahatan tentara di Magelang, mendadak wajah Soedirman tampak cerah. Pagi itu, Ahmad Yani, Gatot Soebroto, serta beberapa petinggi militer dan sipil hadir. Tidak diketahui apa yang dibicarakan.
“Waktu itu, menurut Ibu, tiba-tiba terdengar suara kaleng dan botol pecah mendadak. Bersamaan dengan itu, bendera di halaman melorot setengah tiang. Sampai Ibu bilang ke beberapa pengawal, ’Ah, itu hanya angin’.”
Setelah salat magrib, sebagaimana didengar dari Alfiah, Soedirman memanggil istrinya ke kamar. Di dalam, dia berkata, “Bu, aku sudah tidak kuat. Titip anak-anak. Tolong aku dibimbing tahlil.” Alfiah menuntunnya mengucap Laa Ilaha Illallah, dan Soedirman mengembuskan napas terakhir.
Asal-usul Keluarga Jenderal Soedirman
Soedirman lahir pada Senin Pon, 18 Maulud 1846 dalam almanak Jawa atau 24 Januari 1916 di Dukuh Rembang, Desa Bantar Barang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, sekitar 30 kilometer dari pusat Kota Purbalingga. Ia lahir dari rahim Siyem, wanita asal Purwokerto, istri Karsid Kartoworidji, seorang pekerja pabrik gula. Soedirman diurus dan tinggal di rumah asisten wedana di Rembang, Raden Tjokrosoenarjo dan istri Toeridowati. Bayi laki-laki itu diberi nama Soedirman.
Nama itu diberikan ayah angkatnya, Raden Tjokrosoenarjo, asisten wedana di Rembang, Purbalingga. Sejak lahir, ia memang langsung diurus dan tinggal di rumah pasangan Tjokrosoenarjo dan Toeridowati. Data Pusat Sejarah Tentara Nasional Indonesia menyebutkan, istri Tjokrosoenarjo adalah kakak kandung ibunda Soedirman. Sejak Soedirman masih di dalam kandungan, Tjokrosoenarjo sudah meminta izin Siyem agar kelak bisa merawat kemenakannya itu.
Setelah Soedirman berusia delapan bulan, Tjokrosoenarjo pensiun dari jabatannya. Berbekal duit pensiun 62,35 gulden, ia memboyong keluarganya, termasuk Soedirman dan orang tuanya, pindah ke sebuah rumah sederhana di Kampung Kemanggisan, Kelurahan Tambakreja, sebelah selatan pusat Kota Cilacap, Jawa Tengah. “Jadi, Bapak cuma numpang lahir di Purbalingga, lalu kehidupannya berlanjut di Cilacap,” kata Mohamad Teguh Bambang Tjahjadi, anak bungsu Soedirman, saat ditemui Tempo awal Oktober lalu.
Teguh bercerita, selama ini banyak buku dan literatur digital di dunia maya menulis ngawur soal asal-usul keluarganya. Dari sekian banyak buku tentang ayahnya, Teguh hanya percaya pada buku berjudul Doorstoot naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer karya wartawan senior Julius Pour terbitan 2005.
“Walau bukan buku biografi Bapak, ceritanya cocok semua dengan cerita Ibu,” ujar bungsu dari sembilan putra-putri pasangan Soedirman dan Siti Alfiah itu.
Soal asal-usul keluarga sang Panglima Besar, Teguh mengatakan, berdasarkan pernyataan keluarga, Soedirman merupakan anak kandung Tjokrosoenarjo, Asisten Wedana Rembang, bukan anak angkat seperti yang selama ini tertulis di berbagai buku sejarah. “Belum ada satu pun buku yang menulis soal ini (versi keluarga),” katanya.
Tjokrosoenarjo wafat saat Soedirman masih menempuh sekolah guru di Cilacap pada sekitar 1936. Ia mewariskan seluruh hartanya kepada anak tunggalnya itu.
Siti Alfiah, istri Soedirman, beberapa kali berusaha meluruskan soal data sejarah ini, tapi selalu kandas. Janda Soedirman itu pernah berupaya meluruskannya pada 1960-1970-an. Namun, pihak Pusat Sejarah ABRI kala itu malah mengesahkan secara resmi sejarah orang tua Soedirman yang masih kontroversial tersebut lewat pengadilan. “Tapi aneh karena tak ada satu pun anggota keluarga yang diundang,” ujar Teguh.
Bagi Teguh, ibundanya adalah satu-satunya orang yang tahu persis soal riwayat sang Jenderal Besar. Sebab, semua dokumen yang berkaitan dengan Soedirman telah dilenyapkan demi kepentingan keamanan sebelum ia berangkat bergerilya.
Menurut Teguh, sejarawan Anhar Gonggong pernah memberinya saran agar ia menuliskan semua riwayat Soedirman dari sudut pandang dan pengakuan keluarga. Namun, hingga kini dia belum pernah mencoba melaksanakan saran Anhar itu.
“Yang jelas, Bapak itu pahlawan nasional. Jasanya banyak, perlu jadi teladan bangsa ini. Itu saja cukup,” ucap Teguh.
Bintang Lapangan Sepak Bola 
Soedirman memasuki masa sekolah pada 1923. Kala itu, berkat status Raden Tjokrosoenarjo yang bekas pejabat, Soedirman kecil bisa memperoleh pendidikan formal di Hollandsch-Inlandsche School (HIS, setingkat sekolah dasar) pada usia tujuh tahun. Di sekolah milik pemerintah ini, ia dikenal sebagai murid yang sangat rajin, berdisiplin, dan pandai.
Di sekolah inilah bintang Soedirman mulai bersinar terang. Salah satunya lewat olahraga kegemarannya: sepak bola. Menurut Teguh, saking piawainya memainkan si kulit bundar, Soedirman, yang biasa berposisi sebagai penyerang dijuluki si bintang lapangan.Pria 62 tahun itu mengatakan ayahnya juga menguasai betul aturan dan tata cara permainan bola sepak. Lantaran dikenal sebagai sosok yang jujur, Soedirman kemudian kerap didaulat menjadi wasit. “Kebiasaan sepak bola ini terbawa terus sampai Bapak remaja menuju dewasa,” kata Teguh.
Di Sekolah, Jenderal Soedirman Dijuluki Kaji
Seperti ditulis Majalah Tempo Senin 12 November 2012, Soedirman dikenal sebagai sosok yang tak segan membantu teman-temannya dalam hal apa pun, termasuk pelajaran. Ia sangat antusias mengikuti pelajaran bahasa Inggris, ilmu tata negara, sejarah dunia, sejarah kebangsaan, dan agama Islam. “Saking tekunnya pada pelajaran agama, Soedirman diberi julukan Kaji atau Haji,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein.
Cara bergaul ayahnya pun luwes, kata anak bungsunya, Mohammad Teguh. Dia bisa memastikan hal itu berdasarkan cerita ibunya. Soedirman bisa berkawan dan menempatkan diri di antara senior ataupun juniornya. “Bapak biasa berada di tengah banyak orang. Soalnya Bapak sangat piawai berpidato,” ujarnya. Terutama saat ayahnya getol mengurus organisasi intrasekolah Putra-Putri Wiworotomo.
Soedirman lulus HIS pada 1930. Ia baru masuk ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, setara dengan sekolah menengah pertama) Parama Wiworotomo, Cilacap, dua tahun setelahnya dan lulus pada 1935.
Bersekolah di MULO merupakan tahapan penting bagi Soedirman. Di sekolah itulah ia mendapatkan pendidikan nasionalisme dari para guru yang kebanyakan aktif di organisasi Boedi Oetomo, seperti Raden Soemojo dan Soewardjo Tirtosoepono, lulusan Akademi Militer Breda di Belanda.
Kisah Asmara di Wiworo Tomo 
Soedirman memang begitu sayang kepada istrinya. Menurut Mohamad Teguh Bambang Tjahjadi, 63 tahun, putra bungsu Soedirman, ibunya pernah bercerita bagaimana bapaknya tergolong teliti untuk urusan kosmetik dan busana. “Bapak selalu memilihkan bedak dan busana untuk Ibu. Ibu tinggal mengenakan,” ujar Teguh. Bapaknya ternyata juga suka menjaga penampilan agar rapi dan berwibawa, terutama saat berpidato.
Ibunya sekali waktu bercerita, pernah saat Soedirman berpidato, ia merasa cemburu. Soedirman saat itu berpidato di hadapan putri-putri Keraton Solo. Mereka terlihat kagum pada penampilannya yang besus atau selalu rapi. Selesai pidato, Alfiah berseloroh, “Kamu senang, ya? Kalau begitu mau lagi?” Soedirman langsung menjawab, “Ya tidak, kan aku sudah punya kamu.”
Kisah asmara Soedirman dan Alfiah dimulai di Perkumpulan Wiworo Tomo, Cilacap. Soedirman tersohor sebagai pemain sepak bola dan pemain tonil atau teater. Dia dijuluki Kajine karena alim. Tatkala menjadi ketua, Soedirman memilih Alfiah sebagai bendahara Perkumpulan. Salah seorang teman Soedirman, menurut Teguh, bercerita, banyak pemuda naksir kepada ibunya tapi tak berani mendekati karena segan kepada sang ayah.
Gosip Soedirman menaksir Alfiah, kata Teguh, bermula dari kebiasaan Soedirman berkunjung ke rumah Sastroatmodjo, orang tua Alfiah. Silaturahmi itu berkedok koordinasi internal Muhammadiyah. Kala itu Soedirman termasuk pengurus Hizbul Wathan dan Pemuda Muhammadiyah. Adapun orang tua Alfiah pengurus Muhammadiyah.
Saat menjadi guru HIS Muhammadiyah, Soedirman dikenal dermawan. Gajinya kerap dipakai membantu tetangga. Tatkala menjadi anggota Badan Penyediaan Pangan, lembaga penarik upeti di bawah Jepang, Soedirman bahkan tidak memaksa warga menyetor upeti jika kekurangan.
“Nenek tahu betul Soedirman muda naksir Alfiah. Nenek merestui karena kagum pada kealimannya. Nenek membujuk Kakek mau menerima Soedirman menjadi menantu. Saat itu, usia Bapak 20 tahun, Ibu 16 tahun.”
Menurut Teguh, paman ibunya yang bernama Haji Mukmin, saudagar pemilik hotel, sesungguhnya tidak setuju terhadap perkawinan Alfiah dan Soedirman. Mukmin berkeras Alfiah harus mendapatkan suami dari kalangan orang kaya. Adapun Soedirman anak ajudan wedana, yang bergaji kecil. “Akhirnya, menurut Ibu, semua ongkos pernikahan diam-diam disiapkan Nenek. Strategi itu agar Bapak tidak disepelekan keluarga besar Kakek.”
Dari ibunya, Teguh mendengar, pada saat makan bersama keluarga besar, Haji Mukmin menyingkirkan hidangan paling enak dari hadapan bapaknya. Sang ibu tersinggung, tapi bapaknya memilih mengalah. Sikap Haji Mukmin berubah setelah Soedirman diangkat menjadi Panglima Besar. Ketika diarak ke Cilacap, dia melihat pamannya itu berdiri di pinggir jalan. Soedirman menghentikan mobil, lalu mengajaknya masuk ke mobil.
Soedirman Mengajar dari Kisah Pewayangan
Soedirman, Panglima Besar TNI itu adalah seorang pengajar. Sebagai pendidik, ia tak hanya sekedar memandu murid dari depan kelas. Dia juga menggunakan aneka metode yang membuat murid tertarik belajar.
Soedirman tak tamat HIK. Dia kembali ke Cilacap setahun kemudian. Soedirman lantas bertemu R. Mohammad Kholil, tokoh Muhammadiyah Cilacap. Berkat guru pribadinya itu, dia diangkat menjadi guru sekolah dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Muhammadiyah Cilacap.
Bangunan HIS Muhammadiyah, tempat Soedirman dulu mengajar, kini tak berbekas. Sejak 1993, bangunan tua di tepi Jalan Jenderal Soedirman, Cilacap, itu dirobohkan. Sebagai gantinya, tepat di lokasi tersebut berdiri Taman Kanak-kanak Aisyiah 1.
Sekolah usia dini yang terdiri dari dua kelas dan satu ruang guru tersebut bersembunyi di balik Gedung Dakwah Soedirman, bangunan dua lantai markas Pengurus Daerah Muhammadiyah Cilacap. “Ini untuk mengenang sekaligus tak mengubah fungsi lokasi tersebut sebagai tempat pendidikan,” kata Arif Romadlon, Ketua Pengurus Daerah Muhammadiyah Cilacap, Ahad lalu.
Sardiman, dosen sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, dalam bukunya Guru Bangsa: Sebuah Biografi Jenderal Soedirman (2008), menuturkan bahwa Soedirman berhasil menarik perhatian murid-muridnya saat mengajar.
Marsidik, salah satu murid HIS Muhammadiyah yang diwawancarai Sardiman pada 1997, menuturkan cara mengajar Soedirman tak monoton, terkadang sambil bercanda dan acap diselingi pesan agama dan nasionalisme. “Soedirman juga sering mengambil kisah-kisah pewayangan,” kata Sardiman kepada Tempo pada Ahad lalu.
Soedirman Berhenti Mengajar Demi Berjuang
Nama Soedirman di mata para pejuang kemerdekaan tak sekadar panglima. Dia juga simbol untuk terus melawan penjajah. Soedirman, yang seorang pendidik, memutuskan untuk berhenti mengajar dan memilih turun ke medan perang. Dalam edisi khusus tentang Soedirman di majalah TEMPO, Senin, 12 November 2012, tergambarkan keputusan Soedirman membangkitkan semangat para muridnya.
Dua lelaki tegap memasuki sebuah kelas di Sekolah Rakyat Kepatihan, Cilacap, Jawa Tengah. Pelajaran aljabar di dalam kelas langsung berhenti. Kalender saat itu menunjuk akhir 1943. Bersama wali kelas Sukarno, keduanya berdiri di depan 30-an murid kelas lima.
Seorang di antaranya maju mendekati meja paling depan. Sosok itu kemudian mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kelas, mengucap salam, lalu memperkenalkan diri. “Saya Soedirman dan ini Pak Isdiman.”
Seorang murid yang duduk di bagian belakang kelas, Soedirman Taufik, setengah kaget. Namanya sama dengan pria di depan kelas itu. Seperti teman-temannya, bocah sepuluh tahun itu hanya tertegun.
“Saya mau pamit akan berjuang bersama Dai Nipon,” ujar pria di depan kelas. Pria berpeci hitam, berkemeja putih kusam, dan celana krem panjang sedikit di bawah lutut itu melanjutkan kalimatnya. “Saya minta pangestu, semoga berhasil. Anak-anak yang sudah besar nanti juga harus berjuang. Membela negara.”
Serentak murid-murid menjawab, “Nggih, Pak!” Kunjungan berakhir. Soedirman menyalami para murid sebelum meninggalkan ruangan sambil melambaikan tangan. Isdiman, yang tak berujar sepatah kata pun, mengikuti di belakangnya.
Berselang 69 tahun, Taufik–Juni lalu genap 79 tahun–masih ingat betapa gaduh kelasnya ketika dia bersama kawan-kawan memekikkan salam perpisahan sekaligus doa. “Selamat berjuang, Pak! Semoga berhasil!” katanya kepada Tempo, Ahad lalu. Beberapa tahun setelah kejadian itu, nama kedua pria yang berpamitan tadi muncul sebagai tokoh perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Soedirman kelak menjadi jenderal, Panglima Besar TNI, diangkat pada Juni 1947. Adapun Letnan Kolonel Isdiman gugur sebagai Komandan Resimen 16/II Purwokerto, dua tahun sebelumnya, dalam pertempuran melawan tentara sekutu di Ambarawa, Jawa Tengah.
Dari cerita kawan seangkatannya, Taufik, yang kini menjadi Dewan Penasihat Organisasi Angkatan ’45 Cilacap, mengetahui bahwa Soedirman dan Isdiman juga berpamitan ke beberapa sekolah lainnya sebelum bergabung dengan tentara sukarela bentukan Jepang, Pembela Tanah Air (Peta). “Pak Dirman memang guru,” katanya.
Cacat Kaki, Soedirman Sempat Pesimis Jadi Tentara
Kebesaran nama Panglima Jenderal TNI Soedirman bisa dilihat dari kisahnya yang terungkap di buku-buku sejarah. Namun sebenarnya di balik perjuangannya dengan bertandu, Seodirman sempat ketakutan menjadi tentara karena kondisi kakinya.
Ditinggal Soedirman dalam usia satu tahun, Muhammad Teguh Bambang Cahyadi mendengar cerita tentang ayahnya itu dari sang ibu, Siti Alfiah. Termasuk kisah tentang Soedirman ketika mengawali karier militernya. Menurut Teguh, ayahnya sempat ragu masuk dunia militer. “Saya cacat, tak layak masuk tentara,” kata Soedirman, seperti yang didengar Teguh dari ibunya.
Bukan tanpa alasan jika Soedirman tak percaya diri menjadi tentara. Kakinya pernah terkilir pada saat main sepak bola. Hal itu membuat sambungan tulang lutut kirinya bergeser. Siti Alfiah juga menyatakan sangat mengkhawatirkan kondisi suaminya.
Dalam buku Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman, Soekanto menuliskan dialog pasangan suami-istri ini pada saat Soedirman ingin menjadi tentara. Menjelang tengah malam satu hari pada 1944, Soedirman menyampaikan rencana bergabung dengan pasukan Pembela Tanah Air (Peta). “Jadi, Mas mau jadi tentara?” kata Siti Alfiah. Soedirman mengangguk, seolah meminta pengertian dari sang istri.
Tak langsung mengiyakan, Siti mencecar Soedirman. Dia menanyakan soal mata kiri Soedirman yang kurang terang. “Lalu, kaki Mas yang terkilir sewaktu main bola itu….”
“Tidak apa-apa, Bu, semua pengalaman ada gunanya,” katanya. “Saya harap Ibu berhati mantap.” Soedirman lalu pergi mengambil wudhu dan berjalan ke kamar untuk salat tahajud.
Pilihan menjadi prajurit diambil setelah sekolah Muhammadiyah, tempat Soedirman mengajar, ditutup tentara Jepang. Sekolah itu dianggap bentukan kolonial Belanda. Achmad Dimyati, rekan sesama guru, menyampaikan ketertarikan penguasa militer Kabupaten Cilacap merekrut Soedirman. “Mungkin Dik Dirman akan diangkat menjadi sangikai Karesidenan Banyumas, semacam perwakilan rakyat,” kata Dimyati.
Dimyati berusaha meyakinkan bahwa Soedirman bisa menjadi penghubung antara tentara Jepang dan penduduk Karesidenan Banyumas. Dia berpendapat Jepang lebih baik daripada Belanda.
Nyatanya, Soedirman tak langsung tertarik. Dia menilai Belanda dan Jepang sama-sama orang asing yang menjajah. Jepang dinilainya memerlukan tenaga pribumi hanya karena beberapa jabatan penting kosong ditinggal orang-orang Belanda.
Toh, Soedirman diterima di kesatuan militer. Ia mendapat jabatan sangikai, yang bertugas mendampingi tentara Jepang mengambil hati penduduk agar mau menyerahkan padi. Namun, dengan bahasa Jawa, Soedirman meminta rakyat agar mendahulukan kebutuhan mereka sebelum menyetorkan padi ke tentara Jepang.
Usia 26, Soedirman Tumpas Pemberontakan Pertama
Soedirman mendapatkan pendidikan militer pertamanya dari Jepang. Ia direkrut pemerintah negeri matahari terbit itu pada usia 25 tahun. Setahun menempa pendidikan kemiliteran, Soedirman pun mendapatkan tugas besar pertamanya.
Pada 3 Oktober 1943, pemerintah Jepang mengeluarkan Osamu Seirei Nomor 44 Tahun 2603 (1944) tentang Pembentukan Pasukan Sukarela untuk Membela Tanah Jawa. Penguasa Karesidenan Banyumas mengusulkan Soedirman ikut bergabung. Nugroho Notosusanto dalam buku Tentara PETA pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia, mengatakan hampir semua daidancho dan chudancho dibujuk secara pribadi oleh Beppan.
Daidancho kebanyakan direkrut dari tokoh masyarakat, seperti guru, tokoh agama Islam, dan pegawai pemerintah. “Karena itu, umurnya tak muda lagi,” kata Nina Lubis, penulis buku PETA Cikal Bakal TNI. Daidancho adalah jabatan setingkat komandan batalion.
Soedirman kemudian masuk Peta angkatan kedua sebagai calon daidancho. Muhammad Teguh mengenang cerita ibunya bahwa tentara Jepang sebenarnya tidak suka dengan masuknya Soedirman. Sebab, ketika menjadi anggota Badan Pengurus Makanan Rakyat, ia sering menentang instruksi tentara Jepang. “Namun, saat itu Jepang berkepentingan membentuk pasukan bersenjata untuk menghadapi serangan tentara Sekutu,” katanya.
Sebelum membentuk Peta, Jepang telah mengeluarkan peraturan tentang pembentukan pasukan pribumi Heiho pada 22 April 1943. Pasukan Heiho terutama bertugas di satuan artileri pertahanan udara, tank, artileri medan, mortir parit, dan sebagai pengemudi angkutan perang. Namun, Heiho ternyata tak memuaskan Jepang, yang ingin pasukan sepenuhnya terdiri dari orang pribumi, terpisah dari tentara Jepang.
Pemuda Heiho hanya menjadi pembantu prajurit Jepang. Tak satu pun di antara mereka menjadi perwira. Tangerang Seinen Dojo (pusat latihan pemuda Tangerang), yang mulai berlatih sejak Januari 1943, malah dianggap lebih berhasil.
Pemisahan tentara pribumi dengan tentara Jepang kemudian dilaksanakan di Kalimantan, Sumatera, dan Jawa dengan nama Giyu-gun. Pengerahan rakyat pribumi untuk masuk tentara sukarela akhirnya terlaksana dengan pembentukan Peta.
Untuk menjadi calon perwira tentara Peta, Jepang mensyaratkan bakat kepemimpinan, jiwa dan fisik sehat, serta stabilitas mental. Seleksi dilakukan di ibu kota kabupaten (ken) atau kota madya (shi), yang kemudian dilanjutkan di ibu kota karesidenan (shu) untuk pemeriksaan kesehatan.
Seleksi dilakukan pada awal bulan Oktober 1943 dan hasilnya diumumkan dua minggu kemudian.
Angkatan kedua pendidikan Peta dimulai pada April 1944. Pendidikan untuk daidancho, kata Nina dalam bukunya, hanya dua bulan. Sedangkan untuk chudancho dan shudancho latihannya 3-4 bulan. Mereka berlatih di kompleks militer eks Belanda, 700 meter dari istana presiden di Bogor. Pusat latihan itu diberi nama Jawa Bo-ei Giyugyun Kanbu Renseitai, dibuka resmi pada 15 Oktober 1943.
Angkatan kedua pendidikan perwira Peta dilantik pada 10 Agustus 1944. Mereka diberi samurai dan disebar ke 55 daidan di daerah pantai selatan Jawa. Sebagai daidancho, Soedirman ditempatkan di Kroya, Jawa Tengah, didampingi shoko shidokan, perwira Jepang yang bertugas sebagai pengawas dan penasihat teknis kemiliteran, Letnan Fujita.
Setelah diangkat menjadi daidancho pada usia 26 tahun, Soedirman pulang ke rumah dan menceritakan kepada Alfiah ihwal penempatannya di Kroya. “Saya menjadi daidancho di sini (Cilacap),” kata Soedirman. Ujian pertama Soedirman dilalui pada 21 April 1945, saat pasukan Peta di bawah komando bundancho Kusaeri memberontak di Desa Gumilir, Cilacap.
Peristiwa itu berlangsung lima hari setelah vonis tentara Jepang terhadap pemberontakan Peta Blitar. Soedirman diperintahkan memadamkan pemberontakan Gumilir.
Dalam buku Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman, daidancho itu sebenarnya tahu gerakan Kusaeri. Sebab, beberapa hari sebelum bergerak, Kusaeri menemuinya di Cilacap. Soedirman meminta koleganya itu menunda gerakan. Kata dia, “Kita harus bergerak pada waktu yang tepat.”
Soedirman dan Keris Penolak Mortir 
Desing pesawat membangunkan Desa Bajulan yang senyap, suatu hari di awal Januari 1949. Penduduk kampung di Nganjuk, Jawa Tengah, yang tengah berada di sawah, halaman, dan jalanan, itu panik masuk ke rumah atau bersembunyi ke sebalik pohonan.Warga Nganjuk tahu itu pesawat Belanda yang sedang mencari para gerilyawan dan bisa tiba-tiba memuntahkan bom atau peluru. Tak kecuali Jirah. Perempuan 16 tahun itu gemetar di dapur seraya membayangkan gubuknya dihujani peluru.Di rumahnya ada sembilan laki-laki asing tamu ayah angkatnya, Pak Kedah, yang ia layani makan dan minum. Meski tak paham siapa orang-orang ini, Jirah menduga mereka yang sedang dicari tentara Belanda. Sewaktu pesawat mendekat, dia melihat seorang yang memakai beskap duduk di depan pintu dikelilingi delapan lainnya. “Saya mengintip dan menguping apa yang akan terjadi dari dapur,” kata Jirah, September lalu.
Lelaki pemakai beskap yang oleh semua orang dipanggil ”Kiaine” atau Pak Kiai itu mengeluarkan keris dari pinggangnya. Keris itu ia taruh di depannya. Tangannya merapat dan mulutnya komat-kamit merapal doa. Ajaib. Keris itu berdiri dengan ujung lancipnya menghadap ke langit-langit. Kian dekat suara pesawat, kian nyaring doa mereka.
Keris itu perlahan miring, lalu jatuh ketika bunyi pesawat menjauh. Kiaine menyarungkan keris itu lagi dan para pendoa meminta undur diri dari ruang tamu. Kepada Jirah, seorang pengawal Kiaine bercerita bahwa keris dan doa itu telah menyamarkan rumah dan kampung tersebut dari penglihatan tentara Belanda.
Dari curi-dengar obrolan para tamu dengan ayahnya itu, Jirah samar-samar tahu, orang yang memakai beskap bertubuh tinggi, kurus, dan pendiam dengan napas tercekat yang dipanggil Kiaine tersebut adalah Jenderal Soedirman. “Saya mendapat kepastian itu Pak Dirman justru setelah beliau meninggalkan desa ini,” ujarnya.
Waktu itu Panglima Tentara Indonesia ini sedang bergerilya melawan Belanda, yang secara resmi menginvasi kembali Indonesia untuk kedua kalinya tiga tahun setelah Proklamasi. Jirah ingat, rombongan itu–yang berjumlah 77 orang–datang ke Bajulan pada Jumat Kliwon Januari 1949. Di rumahnya, Soedirman ditemani delapan orang, antara lain Dr Moestopo, Tjokropranolo, dan Soepardjo Roestam. Yang lain menginap di rumah tetangga.
Selama lima hari di Bajulan, tak sekali pun Belanda menjatuhkan bom atau menembaki penduduk. “Itu berkat keris dan doa-doa,” kata Jirah. Soedirman seolah-olah tahu tiap kali Belanda akan datang mencarinya. Karena itu, operasi Belanda mencari buron nomor wahid tersebut selalu gagal.
Cerita Kesaktian Soedirman 
Soedirman terkenal punya firasat dan perhitungan jitu semasa bergerilya. Anak bungsunya, Mohamad Teguh Sudirman, mendengar banyak cerita ”kesaktian” ayahnya. Teguh lahir pada 1949 ketika ibunya bersembunyi di Keraton Yogyakarta saat ayahnya bergerilya. Dia tak sempat bertemu dengan ayahnya, yang meninggal dua bulan setelah ia lahir, dan hanya mendengar kisah Soedirman dari sang ibu, Siti Alfiah.
Inilah kesaktian sang Jenderal yang merupakan perokok berat ini.
Ceritanya ketika Soedirman sampai di Gunung kidul. Ia tak mengizinkan pasukannya beristirahat lama-lama. Benar saja, beberapa saat kemudian, pasukan Belanda tiba di lokasi peristirahatan pasukannya. Jika Soedirman, yang dalam sakit bengek dan tubuh rapuh, tak segera meminta mereka jalan lagi, pertempuran tak akan bisa dihindari. “Dan bisa jadi pasukan Bapak kalah,” kata Teguh.
Soedirman, yang selalu menyamar sepanjang gerilya, juga kerap diminta mengobati orang sakit. Di sebuah desa di Pacitan, Teguh bercerita, Soedirman dan pasukannya kelaparan karena tak menemukan makanan berhari-hari. Mau meminta kepada warga desa, takut ada mata-mata Belanda. Saat rombongan ini beristirahat, seorang penduduk menghampiri mereka dan meminta air mantra untuk kesembuhan istri lurah di situ.
Sang Panglima mengambil air dari sumur, lalu meniupkan doa. Ajaib, istri lurah yang terbaring payah itu bisa bangun setelah minum. Pak Lurah pun menyilakan Soedirman dan anak buahnya beristirahat. Ia menjamunya dengan pelbagai makanan. “Baru setelah itu Bapak mengenalkan diri,” kata Teguh.
Sang Jenderal Klenik 
Kepercayaan dan kegemaran Soedirman pada supranatural tak hanya terjadi saat gerilya, tapi juga dalam diplomasi formal dengan Belanda. Muhammad Roem punya kisah menarik tentang klenik Soedirman. Syahdan, suatu pagi beberapa hari menjelang perundingan Renville di Yogyakarta pada 17 Januari 1948, Roem dipanggil Presiden Sukarno.
Presiden meminta Ketua Delegasi Indonesia dalam perundingan itu menemui Soedirman di rumahnya. “Sebagai ketua delegasi, jiwa Saudara harus diperkuat,” kata Presiden. “Temuilah segera Panglima Soedirman.” Meski awalnya menolak, Roem, yang tak mengerti urusan klenik, menuruti saran itu.
Di rumahnya, Soedirman sudah menunggu. Sang Panglima ditemani seorang anak muda yang ia kenalkan kepada Roem sebagai “orang pintar”. Rupanya, anak muda yang dikenal Roem tak punya pekerjaan tetap itu yang akan “memperkuat jiwa” Menteri Dalam Negeri ini. Dukun itu kemudian memberinya secarik kertas. “Jimat ini tak boleh terpisah dari Saudara,” kata Soedirman. “Kalau hilang, kekuatannya bisa berbalik. Jagalah sebaik-baiknya.”
Jimat itu menemani Roem menghadapi delegasi Belanda yang keras kepala tak mau hengkang dari Indonesia. Seorang diplomat Amerika Serikat yang jadi penengah rundingan itu memuji Roem dan delegasi Indonesia. “Saya sudah kesal karena Belanda begitu legalistik, tapi kalian bisa melawannya dengan legalistik juga. You are wonderful,” katanya, seperti ditulis Roem dalam Jimat Diplomat. Roem, lulusan Rechts School (Sekolah Hukum) di Jakarta, hanya mesem sambil meraba jimat itu di saku celananya.
Akan tetapi, cerita paling absurd yang pernah didengar anak bungsunya, Mohamad Teguh Sudirman, adalah kisah seorang santri dari Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Kepadanya, santri itu menceritakan kisah gurunya yang ikut bergerilya bersama Soedirman. Dalam sebuah pertempuran sengit, menurut santri itu, Soedirman menjatuhkan pesawat Belanda dengan meniupkan bubuk merica. Teguh berkomentar, “Gila, ini tak masuk nalar.”
Soedirman Penganut Kejawen Sumarah
Soedirman terkenal punya firasat dan perhitungan jitu semasa bergerilya. Jenderal dari Banyumas dan percaya klenik ini dikabarkan memiliki bermacam kesaktian.
Soedirman disebut sebagai penganut aliran kejawen Sumarah. Ia gemar mengoleksi keris. Ia juga percaya benda pusaka itu punya tuah yang bisa melindunginya.
Anak bungsu Soedirman, Mohamad Teguh Sudirman, bercerita sewaktu ayahnya terpojok di lereng Gunung Wilis, Tulungagung, keris ayahnya bisa menyelamatkan pasukannya. Padahal ketika itu tentara gerilyawan tak punya celah meloloskan diri dari kepungan pasukan Belanda.
Soedirman tiba-tiba mencabut cundrik, keris kecil pemberian seorang kiai di Pacitan, dan mengarahkannya ke langit. Tak berapa lama, awan hitam bergulung-gulung, petir dan angin menghantam-hantam. Hujan lebat pun turun dan membuyarkan kesolidan pengepungan Belanda. Lagi-lagi pasukan Soedirman selamat.
Cundrik itu ia tinggalkan di rumah penduduk. Beberapa tahun setelah Soedirman meninggal pada 1950, Panglima Kodam V Brawijaya Kolonel Sarbini datang ke rumahnya di Kota Baru, Yogyakarta, ditemani seorang petani.
Menurut Teguh, Sarbini bercerita kepada ibunya, Siti Alfiah, petani itu hendak mengembalikan cundrik Soedirman yang dititipkan kepadanya sewaktu gerilya. “Cundrik itu kami titipkan di Museum Soedirman di Bintaran Timur, Yogya,” ujar Teguh. “Tapi sekarang hilang.
Soedirman Ternyata Hanya Bernapas dengan Satu Paru
Sejak remaja, Soedirman doyan merokok. Bahkan, ia masuk dalam golongan perokok berat. Rokok Soedirman kretek tak bermerek. Disebutnya tingwe alias nglinthing dewe, yang artinya ”meramu sendiri”. Kebiasaan mengisap tembakau membuat Soedirman mengalami gangguan pernapasan. Kondisi kesehatannya pun semakin menurun sejak pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun, Jawa Timur.
Diceritakan bila Letnan Jenderal Soedirman berjalan tertatih-tatih memasuki rumah dinasnya di Jalan Bintaran Wetan, Yogyakarta. Di depan pintu, sang istri, Siti Alfiah, menyambutnya.
“Bapak pulang setelah dua pekan memimpin operasi penumpasan pemberontakan PKI,” kata Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, putra bungsu Soedirman, yang mendapat cerita itu dari ibunya.
Pada akhir September 1948, Soedirman mengeluh ke Alfiah bila dia tak bisa tidur selama di Madiun. Soedirman begitu terpukul menyaksikan pertumpahan darah di antara rakyat Indonesia itu. Peristiwa Madiun membuat batin Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia ini nelangsa. “Selain kelelahan berat, Bapak tertekan batinnya karena peristiwa itu,” ujar Teguh.
Malam itu, kondisi kesehatan Soedirman turun. Namun, ia tetap mandi dengan air dingin. Saran sang istri agar mandi air hangat tak ia indahkan. “Inilah awal petaka bagi Bapak,” kata Teguh. “Esoknya, Bapak terkapar di tempat tidur.”
Kendati sakit, kegemarannya merokok tetap tak bisa ia hilangkan. Sesekali, sembari terbaring, Soedirman mengisap rokok kretek. Melihat itu, istrinya hanya diam, tak berani melarang.
Karena bandel, Soedirman tidak juga pulih. Bahkan, tim dokter tentara mendiagnosis ia menderita tuberkulosis, infeksi paru-paru. Tak percaya akan hasilnya, keluarga meminta pemeriksaan ulang oleh dua dokter tentara senior, Asikin Wijayakusuma serta Sim Ki Ay. Dan jawabannya sama dengan observasi pertama. Soedirman pun dibawa ke Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.
Menurut Soegiri, bekas ajudan Soedirman, obat yang dibutuhkan atasannya hanya ada di Jakarta. Untuk sampai Yogyakarta, obat itu harus diboyong melalui jalur penyelundupan. Di lain pihak, Soedirman butuh penanganan cepat.
“Akhirnya tim dokter memutuskan operasi penyelamatan dengan membuat satu paru-parunya tak berfungsi,” kata Soegiri.
Pasca-operasi, menurut Soegiri, tim dokter berbohong kepada Soedirman. Mereka mengatakan operasi itu cuma mengangkat satu organ kecil di paru-paru yang menghambat saluran pernapasan. Sedangkan kata Teguh, dokter memberitahukan ibunya perihal operasi itu. “Sejak itu, Bapak bernapas dengan separuh paru-paru,” katanya.
Soedirman Jual Perhiasan Istri Demi Ransum Tentara
Usai menjalani operasi paru-paru pada November 1948, Soedirman hidup dengan sebelah paru. Ia pun harus mengonsumsi banyak obat. Seperti codeine untuk mengobati gangguan pernapasan dan kinine bagi penyakit malarianya.
Kata pesuruh Soedirman, Jamaluddin, bentuk obat-obatan itu kecil, serupa kedelai. Warnanya ada yang biru untuk pencegahan malaria dan merah bila sakitnya parah. “Semua itu Pak Dirman minum dengan air teh tiyung atau teh merek Sruni,” ujar Jamaluddin.
Meski sakit, sang Jenderal tidak sulit makan. Bahkan, ia tak pernah memilih-milih menu. Semua makanan yang disediakan dapur umum dia santap. Pilihan makanannya pun tidak beda dengan dengan jatah seluruh prajurit. Apalagi waktu itu masa gerilya, semua serba seadanya. Kadang nasi berteman rebusan daun lembayung, kadang-kadang tempe. “Dikasih apa saja Pak Dirman mau,” ujar Jamal.
Ransum untuk Soedirman diantar dalam rantang. Satu rantang untuk sekali makan, diantar sampai pintu kamar, setiap pagi, siang, dan sore. Tapi sering kali, dari tiga rantang yang dikirim, hanya satu yang habis. “Pak Dirman kerap berpuasa. Karena itu, hanya habis satu rantang. Sisanya dimakan ramai-ramai oleh teman-teman,” kata Jamal.
Sumber makanan tidak hanya dari dapur umum. Penduduk sekitar tempat persembunyian juga sering mengirimkan ransum. Menunya kadang tiwul dan ketela. Jarang sekali mereka mendapatkan nasi. “Ya, seadanya makanan kampung,” ujar Jamal.
Kala itu, tak jarang juga mereka kekurangan makanan. Untuk menutupinya, Soedirman mengirim sang adik ipar, Hanung Faeni, kembali ke Yogyakarta. Ditemani sopir pribadi Soedirman, Hainun Suhada, Hanung berjalan kaki untuk menyampaikan pesan sang Jenderal ke istrinya, Siti Alfiah.
Dalam amanat itu, Soedirman meminta perhiasan Alfiah untuk membiayai perang. Kata anak bungsu Soedirman, Teguh Bambang Tjahjadi, ayahnya sudah berpesan bila ia akan meminta perhiasan itu jika dibutuhkan. “Perhiasan dibarter ayam dan beras,” kata Teguh.
Kamis, 28 Februari 2013
Posted by Kerlip

Popular Post

Blogger templates

Template Information

About

Blogger templates

Test Footer 2

- Copyright © Para Tokoh -Metrominimalist- Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -